Sejarah Tentang Bambu Runcing
Perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda tidak terlepas dari keberadaan bambu runcing sebagai senjata. Meskipun hanya sebuah senjata yang sederhana, namun dari bambu runcing inilah para penjajah akhirnya pergi meninggalkan Ibu Pertiwi.
Untuk mengingat keberadaan bambu runcing ini, di Surabaya terdapat Monumen Bambu Runcing. Terletak di jantung Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Panglima Sudirman, Monumen Bambu Runcing menjadi salah satu ikon pariwisata Surabaya yang berhubungan dengan situs sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Lokasinya yang strategis, membuat para wisatawan yang berkunjung ke Kota pahlawan langsung mengenali monumen ini saat melintas di sekitarnya. Monumen ini juga berdekatan dengan lokasi Kebun Slot Garansi Binatang Surabaya, Tugu Pahlawan Surabaya dan Tunjungan Plaza.
Rupanya pada saat penjajahan, banyak santri dan pejuang ingin bergabung bersama melawan penjajah. Sebelumnya mereka sowan dulu pada kiau Subchi ini, dan di sanalah mereka dikenalkan dengan senjata bambu runcing. Setelah diajarkan doa oleh kiai Subchi, para santri dan pejuang itu siap turun ke medan tempur untuk membabat habis penjajah.
Setelah para santri disuruhnya untuk membuat senjata bambu runcing atas perintah kiai Subchi, rupanya kepamoran senjata ini menyebar hingga ke mana-mana. Ya, berkat senjata ini pula, banyak peperangan yang dimenangkan oleh pejuang Indonesia. Para pejuang dan santri di daerah lain pun juga ikut menggunakan bambu runcing sebagai senjata utamanya.
Tentu bukan bambu runcing dan rotan sembarangan. Sebab, sebelum dibagikan sebagai senjata, bambu runcing dan rotan itu disuwuk atau diasma’i lebih dulu di pesantren Tebu Ireng, sehingga ampuh. Hal itu memberikan sugesti dan menambah keberanian para santri melawan penjajah. Hasilnya memang sudah terbukti.
Saya pernah tahu wujud rotan yang dikatakan ampuh itu, milik salah satu kawan. Panjangnya sekitar satu meter. Saat itu rotan tersebut dibungkus kain putih, dan sering di bawa ke mana-mana. Menurut kawan saya ini, rotan itu warisan dari ayahnya.
Hanya, saya belum sampai ditunjukkan secara langsung keampuhan rotan itu. Hingga kawan saya ini suata saat bilang kalau rotannya hilang. Saat di naik bus ke luar kota, karena suatu hal rotan itu dititipkan pada orang yang ada di sebelahnya. Namun, saat dia turun dari bus, dia lupa tak meminta kembali rotan itu.
Dan, ternyata tukang ngasma’i bambu runcing dan rotan itu seorang perempuan. Dia santri langsung dari Mbah Hasyim Asy’ari. Namanya, Nyai Suryani yang punya nama asli Djuwariyah atau Syuriyah.
Nyai Suryani baru meninggal dunia dalam usia 102 tahun di Rumbia, Lampung Tengah, pada Selasa 23 Maret 2021. Sampai akhir hayatnya, Nyai Suryani berdomisili di Kampung Bina Karya Utama, Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah.
Nyai Suryani dimakamkan di Komplek Pesantren Miftahussa’adah Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah. Pada Sabtu (27/3) malam Nahdliyin menggelar tahlil tujuh hari wafatnya Nyai Suryani.
Cerita tentang asal usul Nya Suryani ini dibeber Wasekjen PBNU, H Abdul Mun’im DZ. Dia mengatakan Nyai Suryani berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Nyai Suryani menjadi santri Mbah Hasyim tahun 1940-1947, kemudian masuk ke Lampung pada kisaran 1960-an. Menurut Mun’im, Nyai Suryani adalah sosok yang istimewa.
“Saat nyantri di Tebuireng Jombang beliau yang mendapat tugas, mengasma’i bambu runcing yang hendak digunakan perang melawan Sekutu 10 November 1945 di Surabaya dan dalam menghadapi Agresi Belanda 1947 dan 1948,” kata Abdul Mun’im DZ.
Tidak hanya itu, lanjutnya, Nyai Suryani yang kala itu masih muda belia turun di front selatan Jombang Kediri melawan Agresi Belanda.
“Setelah perjuangan melawan penjajah usai perempuan itu menghilang dari peredaran. Ternyata selama ini beliau menyamar sebagai dukun bayi di Lampung Tengah. Juga banyak membantu pembangunan masjid dan langgar di daerahnya,” lanjut Mun’im. Mun’im meneruskan, sekitar tahun 2015 identitas sang dukun bayi yang santri Mbah Hasyim Asy’ari ini baru terungkap.
“Ikatan NU memang longgar, karena itu harus dijaga agar jangan sampai ambyar. Keikhlasan dan ketulusan serta kesungguhan yang bisa menyelamatkan NU. Kalau NU kuat insyaallah negara tenteram dan aman tidak ada yang berani mengganggu. ‘Doaku bersama kalian semua’. Demikian Mbah Juwariyah atau Nyai Suryani mengakhiri wejangannya,” pungkas Mun’im. (*)
دیدگاهتان را بنویسید